Perkembangan Emosional Anak Usia SD

 Ledakan Emosi Jadi Bagian dari Proses Tumbuh Kembang

Sides SD di lapang

Setiap guru atau orang tua mungkin pernah menghadapi situasi di mana seorang anak Sekolah Dasar (SD) tiba-tiba menangis karena hal yang tampaknya sepele seperti tidak diajak bermain, mendapat nilai lebih rendah dari temannya, atau kehilangan tempat duduk favorit di kelas. Di sisi lain, ada anak yang menunjukkan kemarahan berlebih hanya karena tidak terpilih sebagai ketua kelompok. Apa yang sebenarnya terjadi?

Banyak orang dewasa keliru memahami bahwa anak SD seharusnya sudah bisa “mengendalikan diri.” Padahal, rentang usia ini adalah masa yang sangat krusial dalam perkembangan emosi. Memahami proses ini akan membantu guru dan orang tua mendampingi anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara emosional.

1. Perkembangan Emosi pada Anak SD: Apa yang Berubah?

Secara umum, anak usia SD (sekitar 6–12 tahun) mulai menunjukkan kemampuan yang lebih kompleks dalam mengenali dan mengekspresikan emosi. Mereka sudah bisa menyebutkan perasaan seperti malu, cemburu, bangga, atau kecewa. Namun, kemampuan mengelola emosi tersebut masih berkembang.

Pada tahap ini, anak juga mulai memperhatikan bagaimana orang lain merespons emosi mereka. Mereka belajar apakah marah itu boleh, apakah menangis itu lemah, atau apakah sedih harus disembunyikan. Karena itulah, peran lingkungan sangat besar dalam membentuk kemampuan regulasi emosi anak.

2. Perspektif Para Ahli tentang Perkembangan Emosi Anak

Untuk memahami lebih dalam, mari kita lihat bagaimana beberapa ahli psikologi menjelaskan tahap-tahap perkembangan emosi pada anak usia SD:

a. Erik Erikson – Tahap Industri vs Inferioritas

Erik Erikson dalam teori psikososialnya menyebutkan bahwa anak usia SD berada dalam tahap "Industri vs Inferioritas". Di sini, anak mulai ingin merasa produktif, mampu, dan berguna. Mereka ingin diakui, diberi tanggung jawab, dan dihargai atas usaha mereka.

Jika anak merasa gagal atau tidak mendapatkan pengakuan, mereka bisa merasakan inferioritas (rendah diri). Perasaan ini sering kali dimanifestasikan dalam bentuk ledakan emosi: marah, frustasi, atau sedih berlebihan.

Contoh kasus: Seorang anak yang merasa hasil karyanya tidak dihargai oleh guru mungkin enggan mengerjakan tugas berikutnya dan menunjukkan perilaku menutup diri.

b. Jean Piaget – Tahap Operasional Konkret

Menurut Piaget, anak usia SD berada dalam tahap operasional konkret, yaitu mampu berpikir logis, tetapi masih terbatas pada hal-hal konkret yang dapat mereka amati. Mereka mulai memahami bahwa orang lain bisa berpikir berbeda, tetapi belum sepenuhnya menguasai konsep sudut pandang yang berbeda secara emosional.

Inilah sebabnya mengapa anak kadang masih kesulitan memahami mengapa temannya marah atau kecewa, atau tidak peka saat ucapannya menyakiti perasaan orang lain. Ini bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena empatinya masih berkembang.

c. Daniel Goleman – Kecerdasan Emosional (EQ)

Daniel Goleman memperkenalkan konsep kecerdasan emosional yang mencakup lima elemen utama: kesadaran diri, pengelolaan emosi, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Anak SD sedang belajar mengenali perasaannya (misalnya, membedakan antara kesal dan kecewa), mengelolanya, serta mulai belajar menempatkan diri dalam posisi orang lain.

Sayangnya, kurikulum sekolah sering kali lebih fokus pada aspek akademik daripada membekali anak dengan keterampilan EQ. Padahal, anak yang cerdas secara emosional akan lebih siap menghadapi tantangan hidup dan membina hubungan sosial yang sehat.

d. John Bowlby – Teori Attachment

Bowlby menekankan pentingnya ikatan emosional yang aman (secure attachment) antara anak dan pengasuh utamanya. Anak yang merasa diterima dan disayangi tanpa syarat akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan mampu mengekspresikan emosinya secara sehat.

Sebaliknya, anak yang kurang mendapat perhatian atau sering diabaikan secara emosional cenderung menunjukkan perilaku menarik perhatian melalui ledakan emosi.

3. Mengapa Emosi Anak SD Masih Sering Meledak-ledak?

Setelah memahami teori di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa alasan mengapa ledakan emosi masih sering terjadi pada anak SD:

  • Belum mampu mengelola emosi secara mandiri.
  • Masih belajar mengenali jenis-jenis emosi.
  • Ingin diakui dan dihargai (sesuai teori Erikson).
  • Kurangnya contoh atau bimbingan dalam mengungkapkan emosi.
  • Lingkungan kurang responsif terhadap kebutuhan emosional mereka.

4. Peran Guru dan Orang Tua dalam Mendampingi Emosi Anak

Pendampingan yang bijak dan konsisten adalah kunci. Berikut beberapa cara efektif yang bisa dilakukan guru dan orang tua:

  • Validasi emosi anak. Jangan langsung menyuruh anak berhenti menangis. Ucapkan, “Kamu sedih, ya? Itu wajar.”
  • Gunakan bahasa emosi dalam percakapan sehari-hari. Ajak anak menyebutkan perasaannya, misalnya, “Kamu kelihatan kesal, ada yang membuatmu tidak nyaman?”
  • Ajarkan strategi menenangkan diri. Misalnya, tarik napas dalam, menggambar perasaan, atau duduk di "pojok tenang".
  • Bangun hubungan emosional yang aman. Luangkan waktu untuk mendengarkan anak tanpa menghakimi.
  • Berikan contoh nyata. Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua atau guru bisa mengelola emosi dengan baik, anak pun akan menirunya.

5. Membesarkan Anak dengan Kecerdasan Emosional

Membantu anak SD mengelola emosi bukanlah hal instan. Ini adalah proses panjang yang memerlukan kesabaran, empati, dan konsistensi. Guru dan orang tua bukan hanya pengajar, tetapi juga pelatih emosi.

Menerapkan teori para ahli dalam praktik sehari-hari akan membuat kita lebih peka dan sadar bahwa setiap ledakan emosi anak bukanlah gangguan, melainkan permintaan tolong yang tidak diucapkan dengan kata-kata.

Karena sejatinya, anak-anak tidak butuh orang dewasa yang sempurna. Mereka butuh orang dewasa yang hadir, memahami, dan siap mendampingi mereka tumbuh menjadi manusia utuh secara kognitif, sosial, dan emosional.

 

Posting Komentar untuk "Perkembangan Emosional Anak Usia SD"