Culturally Responsive Teaching (CRT): Strategi Mengajar yang Menghargai Keberagaman
Latar Belakang: Mengapa Culturally Responsive Teaching Penting
Di Indonesia, ruang kelas adalah cerminan dari keberagaman yang luar biasa. Siswa datang dari berbagai suku, bahasa, agama, budaya, dan latar belakang sosial ekonomi. Ada siswa yang terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia baku di rumah, tetapi ada pula yang sehari-hari menggunakan bahasa daerah. Ada yang membawa bekal makanan tradisional khas kampungnya, sementara yang lain terbiasa dengan makanan modern.Perbedaan ini membawa warna dalam proses belajar.
Keberagaman sebenarnya adalah aset besar. Siswa memiliki sudut pandang unik, pengalaman yang berbeda, dan kekayaan budaya yang bisa memperkaya proses pembelajaran. Namun, dalam praktiknya, perbedaan ini juga bisa menjadi tantangan,jika guru hanya menggunakan satu pendekatan pembelajaran yang seragam.
Pengalaman menunjukkan bahwa metode mengajar yang tidak mempertimbangkan keberagaman sering membuat siswa tertentu merasa asing dengan materi, sulit memahami, atau kehilangan motivasi.
Di sinilah Culturally Responsive Teaching (CRT) menjadi penting—sebuah pendekatan yang memastikan setiap siswa merasa dilihat, didengar, dan dihargai.
Misalnya:
Siswa yang tidak familiar dengan contoh atau analogi dalam buku pelajaran mungkin kesulitan memahami materi.
Materi yang terlalu “jauh” dari kehidupan sehari-hari siswa bisa terasa asing dan tidak bermakna.
Bahasa pengantar yang tidak ramah bagi siswa yang belum lancar bahasa Indonesia bisa menghambat pemahaman.
Culturally Responsive Teaching (CRT) hadir sebagai jawaban. Pendekatan ini mengakui keberagaman siswa dan menjadikannya sebagai kekuatan dalam proses belajar, bukan hambatan.
Pendapat Tokoh tentang Culturally Responsive Teaching
Konsep CRT banyak dipopulerkan oleh Geneva Gay, seorang profesor pendidikan yang telah meneliti pembelajaran berbasis budaya selama puluhan tahun. Ia menyatakan:
"Teaching is cultural work. The more we know about students’ cultural backgrounds, the better we can serve them." (Mengajar adalah pekerjaan yang sarat budaya. Semakin kita memahami latar belakang budaya siswa, semakin baik kita dapat melayani mereka.)
Gloria Ladson-Billings, tokoh lain di bidang ini, juga menekankan bahwa pembelajaran yang responsif terhadap budaya tidak hanya membuat siswa nyaman, tetapi juga meningkatkan prestasi akademik dengan cara menghubungkan materi pelajaran pada pengalaman yang bermakna bagi siswa.
Di Indonesia, gagasan ini selaras dengan filosofi Ki Hajar Dewantara:
"Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya."
Kata “kodrat” di sini mencakup kodrat budaya siswa—sesuatu yang tidak boleh diabaikan oleh pendidik.
Definisi Culturally Responsive Teaching
Secara sederhana, Culturally Responsive Teaching adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan latar belakang budaya, bahasa, nilai, dan pengalaman hidup siswa ke dalam proses pembelajaran.
Tujuannya adalah:
1. Meningkatkan relevansi pembelajaran bagi siswa.
2. Membuat siswa merasa dihargai dan diakui.
3. Membantu siswa menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki.
Dalam konteks kelas SD di Indonesia, ini berarti guru tidak sekadar mengikuti buku teks, tetapi menyesuaikan materi, metode, dan contoh dengan dunia nyata siswa.
Langkah Penerapan CRT di Kelas SD
1. Mengenal Latar Belakang Siswa
Guru perlu mengetahui siapa siswa mereka.
Langkah praktis:
Gunakan lembar biodata yang memuat pertanyaan ringan seperti bahasa yang digunakan di rumah, hobi, makanan favorit, dan tradisi keluarga.
Adakan sesi berbagi cerita, misalnya “Cerita dari Kampung Halaman”, agar siswa saling mengenal.
Catat temuan tersebut untuk dijadikan referensi dalam membuat materi ajar.
Manfaat: Guru bisa memberikan contoh soal atau cerita yang dekat dengan kehidupan siswa. Misalnya, guru yang tahu muridnya tinggal di daerah pesisir bisa mengaitkan pelajaran matematika dengan perhitungan hasil tangkapan ikan
2. Menggunakan Materi yang Relevan Budaya
Materi pelajaran akan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan pengalaman siswa.
Contoh:
Matematika: Menghitung uang belanja di pasar tradisional setempat.
Bahasa Indonesia: Membaca cerita rakyat dari daerah asal siswa.
IPA: Menggunakan contoh tumbuhan atau hewan lokal saat membahas ekosistem.
Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar konsep, tetapi juga mengenali dan menghargai budayanya sendiri.
3. Memanfaatkan Bahasa sebagai Jembatan
Bahasa adalah alat utama dalam belajar. Guru bisa memanfaatkan bahasa daerah untuk menjembatani pemahaman, terutama di kelas awal SD.
Contoh:
Saat menjelaskan kosakata baru, hubungkan dengan kata dalam bahasa daerah siswa.
Menggunakan peribahasa lokal sebagai bahan diskusi di pelajaran Bahasa Indonesia.
Hal ini tidak berarti mengurangi penggunaan bahasa Indonesia, tetapi menjadikan bahasa daerah sebagai alat bantu untuk memudahkan pemahaman.
4. Melibatkan Komunitas dalam Pembelajaran
CRT mendorong keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam proses belajar.
Contoh kegiatan:
Mengundang pengrajin lokal untuk mengajarkan keterampilan membuat anyaman.
Mengajak siswa berkunjung ke pasar tradisional untuk mengamati transaksi jual beli.
Mengundang orang tua atau tokoh masyarakat untuk menceritakan pengalaman sesuai tema pelajaran.
Keterlibatan ini membuat pembelajaran menjadi lebih hidup dan relevan.
5. Mengembangkan Kesadaran dan Toleransi
CRT tidak hanya mengajarkan akademik, tetapi juga membentuk sikap.
Langkah yang bisa dilakukan:
Mengadakan diskusi tentang perbedaan kebiasaan di rumah masing-masing siswa.
Mengajak siswa saling menghargai cara berbicara, berpakaian, atau merayakan hari besar keagamaan.
Mengintegrasikan nilai gotong royong dan toleransi ke dalam setiap kegiatan kelompok.
Dengan begitu, siswa belajar bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan penghalang.
6. Mengaitkan Proyek Belajar dengan Budaya Lokal
Pendekatan proyek (Project-Based Learning) dapat diintegrasikan dengan CRT.
Contoh:
Proyek “Ensiklopedia Budaya Lokal” di mana siswa mendokumentasikan tradisi daerah masing-masing.
Proyek membuat buku resep makanan khas daerah.
Proyek kampanye menjaga bahasa daerah melalui poster atau video sederhana.
Proyek ini melatih keterampilan abad 21 sekaligus memperkuat identitas budaya siswa.
Tantangan dalam Penerapan CRT
Meskipun bermanfaat, CRT juga memiliki tantangan:
1. Waktu persiapan yang lebih lama karena guru perlu mempelajari latar belakang siswa.
2. Ketersediaan sumber belajar yang sesuai budaya lokal.
3. Keterampilan guru dalam mengelola keberagaman di kelas.
Solusi: Guru dapat memulai dari langkah kecil—misalnya menyesuaikan satu atau dua materi pelajaran per minggu dengan konteks budaya siswa—dan secara bertahap memperluasnya.
Kesimpulan
Culturally Responsive Teaching adalah pendekatan yang relevan untuk pendidikan Indonesia yang beragam.
Dengan memahami budaya siswa, guru dapat:
Meningkatkan keterlibatan siswa.
Meningkatkan hasil belajar.
Menciptakan kelas yang inklusif dan penuh rasa saling menghargai.
Seperti pesan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah menuntun anak sesuai kodratnya. Budaya adalah bagian dari kodrat itu. Dengan CRT, guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan rasa bangga akan identitas dan kemampuan untuk menghargai perbedaan.
Posting Komentar untuk "Culturally Responsive Teaching (CRT): Strategi Mengajar yang Menghargai Keberagaman "